Jumat, Oktober 19, 2012

JAMSOSTEK JOURNALIST AWARD 2012

Dalam rangka peringatan HUT ke-35 PT Jamsostek (Persero), Jamsostek Journalists Club (JJC) kembali menggelar Jamsostek Journalist Award (JJA) 2012, dengan tujuan utama mensosialisasikan program-program jaminan sosial kepada khalayak ramai, mencari masukan-masukan konstruktif bagi PT Jamsostek dan memberikan apresiasi bagi insan media yang peduli dengan perlindungan sosial bagi pekerja. Adapun tema JJA tahun ini adalah transformasi PT Jamsostek ke BPJS ketenagakerjaan dan peranannya dalam memberikan perlindungan bagi peserta. II. Kategori Lomba: 1. Media cetak dan online 2. Fotografi. III. Persyaratan Lomba: 1. Terbuka bagi wartawan cetak, online dan foto. 2. Materi lomba telah dipublikasikan di media massa masing-masing peserta pada periode 1 Januari – 10 November 2012. 3. Materi yang dilombakan dapat berupa reportase,feature dan analisis yang panjangnya minimum 3.500 karakter. 4. Setiap peserta boleh mengirimkan paling banyak dua tulisan atau dua foto 5. Materi dikirim dalam bentuk cetak dan online atau fotokopi atau diantar langsung ke secretariat panitia JJA. Alamat sekretariat panitia JJA: Maliki Sugito Biro Humas Lantai 4 : Gedung Jamsostek Jl. Jendral Gatot Subroto No. 79 Jakarta 12930. Telepon : (021) 520 7797 6. Materi diterima oleh panitia paling lambat 12 November 2012. IV. Tota Hadiah yang Diperebutkan : Rp 115 juta 5.1. Karya Tulis 1. Hadiah Juara I : Rp. 20.000.000 2. Hadiah Juara II : Rp 17.500.000 3. Hadiah Juara III : Rp 12. 500.000 4. Hadiah Juara Harapan I : Rp 10.000.000 5. Hadiah Juara Harapan II : Rp 7.500.000 6. Hadiah Juara Harapan III : Rp 5.000.000 5.2. Fotografi 1.Hadiah Juara I : Rp 15.000.000 2.Hadiah Juara II : Rp 12.500.000 3.Hadiah Juara III : Rp 10.000.000 4.Hadiah Juara Harapan I : Rp 7.500.000 5.Hadiah Juara Harapan II : Rp 5.000.000 6.Hadiah Juara Harapan III : Rp 2.500.000 5.3. Para pemenang lomba akan diumumkan 5 Desember 2012 Hormat kami, Panitia JJA 2012

Kamis, Oktober 18, 2012

Direktur Kepesertaan PT Jamsostek (Persero), Junaedi: siap melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82 tahun 2012 tentang pengujian atas UU No.24 tahun 2011 Tentang BPJS

"Kita siap jika pemerintah sudah mengeluarkan petunjuk pelaksana (Juklak) tentang pendaftaran perseorangan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan," kata Direktur Kepesertaan PT Jamsostek (Persero) dalam keterangan persnya, di Jakarta, Kamis (18/10). Hal tersebut diungkapkan Junaedi, saat ditanya hasil putusan MK yang memenangkan permohonan Citramasindo M. Komarudin, Ketua Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), Susi Sartika, Sekretaris Jenderal FISBI dan Yulianti, Staff PT. Megahbuana yang mengajukan uji materi tentang UU BPJS. MKmengabulkan permohonan uji materi Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Berdasarkan putusan MK tersebut, buruh secara independen dapat mendaftarkan diri ke BPJS jika perusahaan tidak mendaftarkan buruh tersebut. Baca lebih lanjut di sini:

Rabu, September 19, 2012

Susunan Direksi Baru Jamsostek


  1. Direktur Utama: Elvyn G. Massassya 
  2. Direktur SDM dan Umum: Amri Yusuf 
  3. Direktur Rencana Pengembangan dan Informasi: Agus Supriyadi 
  4. Direktur Investasi: Jeffry Haryadi 
  5. Direktur Kepesertaan: Junaedi 
  6. Direktur Pelayanan: Ahmad Riadi 
  7. Direktur Keuangan: Herdi Trisanto

Kamis, Desember 15, 2011

Download UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)

Poin penting UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS yang harus diketahui:

1. BPJS dibagi 2, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan

2. BPJS berbentuk Badan Hukum Publik

3. BPJS bertanggung-jawab langsung kepada Presiden

4. BPJS berwenang menagih iuran, menempatkan dana, melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan pemberi kerja, mengenakan sanksi administrasi kepada Peserta dan pemberi kerja.

5. Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta Program Jaminan Sosial.

6. Sangsi adminstratif yang dapat dilakukan oleh BPJS: teguran tertulis dan denda.

7. Pemerintah mendaftarkan penerima bantuan Iuran dan anggota keluarganya sebagai peserta kepada BPJS.

8. Pemberi kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

9. Pemberi kerja wajib membayar dan menyetor iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.

10. Peserta yang bukan pekerja dan bukan penerima bantuan Iuran wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.

11. Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk Penerima Bantuan Iuran kepada BPJS.

12. Jika pemberi kerja tidak memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan tidak menyetorkannya kepada BPJS dan atau jika pemberi kerja tidak membayar dan menyetor iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS, dipidana penjara paling lama 8 tahun atau pidana denda paling banyak 1 miliar.

13. BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014, semua pegawai PT. Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan.

14. Pada tanggal 1 Januari 2014 PT. Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Semua pegawai PT. Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan.

15. Paling lambat tanggal 1 Juli 2015 PT. Jamsostek (Persero) mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun dan program jaminan kematian bagi peserta, tidak termasuk peserta yang dikelola PT. TASPEN (Persero) dan PT. ASABRI (Persero).

16. PT. ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun paling lambat tahun 2029.

17. PT. TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun darim PT. TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.

18. Peraturan Pelaksanaan dari UU BPJS ditetapkan paling lama 1 tahun untuk BPJS Kesehatan dan paling lama 2 tahun untuk BPJS Ketenagakerjaan.



Silahkan download UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS di bawah ini:

Rabu, September 07, 2011

Baliho Jamsostek


Jamsostek yang memberikan jaminan sosial terlengkap bagi Pekerja Indonesia.

Via [http://lockerz.com/s/136520651]

Selasa, September 06, 2011

PosKotaNews.Com: Apa Peserta Jamsostek Wajib Ikut Program JPK?

Diambil dari: http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/08/31/apa-peserta-jamsostek-wajib-ikut-program-jpk

Harian Pos Kota bekerjasama dengan PT Jamsostek (Persero) menghadirkan Rubrik Info Jamsostek pada hari Kamis. Pembaca dapat mengirimkan pertanyaan melalui SMS online ke nomor 0811146770 dan dapat membaca rubrik ini di Pos Kota online dengan mengklik poskota.co.id atau poskotanews.com setiap hari.

Tanya:
1. Saya peserta Jamsostek sejak tahun 2000, namun tidak diikutkan dalam program JPK. Apa sebenarnya program JPK. Apakah itu wajib? (0856832456XX)

Jawab :

Pemeliharaan kesehatan adalah hak tenaga kerja. JPK adalah salah satu program Jamsostek yang membantu tenaga kerja dan keluarganya mengatasi masalah kesehatan. Mulai dari pencegahan, pelayanan di klinik kesehatan, rumah sakit, kebutuhan alat bantu peningkatan fungsi organ tubuh, dan pengobatan, secara efektif dan efisien. Setiap tenaga kerja yang telah mengikuti program JPK akan diberikan KPK (Kartu Pemeliharaan Kesehatan) sebagai bukti diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.


Manfaat JPK bagi perusahaan yakni perusahaan dapat memiliki tenaga kerja yang sehat, dapat konsentrasi dalam bekerja sehingga lebih produktif.


Iuran JPK dibayar oleh perusahaan dengan perhitungan sebagai berikut: Tiga persen (3%) dari upah tenaga kerja (maks Rp 1 juta ) untuk tenaga kerja lajang Enam persen (6%) dari upah tenaga kerja (maks Rp 1 juta ) untuk tenaga kerja berkeluarga. Dasar perhitungan persentase iuran dari upah setinggi-tingginya Rp 1.000.000,

Tanya:
2. Saya seorang karyawati di sebuah klinik gigi ternama di Jakarta Bersama 25 karyawan lainnya sudah 16 tahun bekerja dan tidak diikutkan dalam program Jamsostek. Saat berhenti bekerja, saya tidak mendapatkan kompensasi apapun dari perusahaan. Apa ini kesalahan saya karena tidak ikut dalam program jamsostek? (0878823255XX)

Jawab :

Klinik tempat anda bekerjalah yang salah karena tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program Jamsostek. Tentang kompensasi yang tidak diberikan karena mengundurkan diri, itu tidak terkait dengan program jamsostek. Anda bisa mengadu ke kantor dinas tenaga kerja setempat jika ingin menuntut hak-hak anda.

Tanya:

3. Saya peserta program jaminan pemeliharaan kesehatan jamsostek.Setiap kali berobat saya selalu dimintai tambahan uang untuk obat, padahal saya tidak pernah meminta obat yang mahal. (0857150672XX)

Jawab :

Seharusnya anda menanyakan hal ini pada petugas loket, apakah obat yang diberikan itu obat generik atau paten. Jika memang yang diberikan obat paten, untuk jenis tertentu harganya melebihi plafon yang ditentukan, sehingga peserta dikenakan tambahan biaya.

Tanya:

4. Suami saya dulu peserta Jamsostek, namun kini tengah bekerja diluar negeri (TKI). Bisakah JHT jamsosteknya dicairkan dengan menggunakan surat kuasa? (0857148853XX)

Jawab :

Jika memang peserta bersangkutan berhalangan mencairkan sendiri jaminan hari tua, maka wajib memberikan surat kuasa bermaterai pada yang ditunjuk. Jadi dalam hal ini isteri bisa mencairkan JHT suaminya jika memang ada surat kuasa. Namun untuk mencairkan juga harus dilihat dulu batas masa kepesertaan, yaitu 5 tahun.

Tanya:
5. Mohon informasi apa syarat-syarat pengambilan jaminan hari tua jamsostek. (0821128549XX)

Jawab :

Masa kepesertaan harus sudah 5 tahun, sudah berhenti bekerja atau pensiun. Membawa kartu peserta jamsostek, fotocopy KTP dan Kartu Keluarga serta membawa surat keterangan dari perusahaan (paklaring).***

Kamis, Juli 14, 2011

Jaminan Sosial Beda dengan Asuransi Sosial

Diambil dari sini: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/07/13/241667/293/14/Jaminan-Sosial-Beda-dengan-Asuransi-Sosial

JAKARTA--MICOM: Sistem jaminan sosial harus dibedakan dengan asuransi sosial. Filosofi jaminan sosial tidak boleh dicampur aduk dengan prinsip-prinsip asuransi.

RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta UU Sistem Jaminan Sosial Nas...ional (SJSN) pasal 17 mengatakan tentang kewajiban membayar iuran bagi peserta.

Hal ini dinilai sebagai bentuk dari asuransi sosial yang diwajibkan oleh negara.

"Kalau jaminan sosial semestinya tidak pakai premi (iuran). Negara yang semestinya menanggung," ujar peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, di Jakarta, Rabu (13/7).

Terlepas dari itu, UU tersebut juga dinilai memaksa buruh, PNS, TNI dan Kelompok masyarakat berpendapatan rendah untuk menyubsidi silang kelompok yang paling miskin.

"Semestinya negara yang menyubsidi," imbuh Salamuddin.

Baik, UU SJSN maupun RUU BPJS dinilai tidak bertujuan untuk menyelenggarakan jaminan sosial. Tetapi melakukan mobilisasi dana masyarakat untuk program stabilitas sektor keuangan global melalui trust fund.

"Ada kepentingan modal asing yang mendalangi lahirnya UU Jaminan Sosial," kata Salamuddin.

Ia mengatakan lahirnya kedua UU tersebut didanai oleh Asian Development Bank melalui program Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR) sebesar US$250 juta.

"Ini strategi lembaga keuangan internasional dalam rangka memobilisasi dana. Kalau tidak ada untungnya buat apa mereka ikut campur," kata Salamuddin.

Selasa, Juli 12, 2011

Okezone: 2 Alasan Jamsostek Tolak Dilebur Jadi BPJS

Diambil dari sini:
http://economy.okezone.com/read/2011/07/12/320/478970/2-alasan-jamsostek-tolak-dilebur-jadi-bpjs


JAKARTA - PT Jamsostek (Persero) mengemukakan dua alasannya mengapa pihaknya tidak menyepakti peleburan empat lembaga jaminan sosial jika nanti RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) diketok palukan.

Hal ini diungkapkan Kepala Divisi Jaminan dan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek Masud Muhammad dalam diskusi yang diselenggarakan Majalah Trust bertema "Siapa Untung Jaminan Sosial Kesehatan ditangani Lembaga Bari dan Bagaimana Perlindungan Buruh Migran" di Menara MNC, Kebon Sirih, Jakarta Selasa (12/7/2011).

"Pertama, akan ada keraguan masyarakat dengan adanya BPJS yang baru. Yang kedua, adalah diskriminasi, bukan berarti harus sama. Kalau mau disamakan, jadi aneh dong, masa yang iuran mau disamakan sama yang enggak iuran," ungkapnya.

Menurutnya, pandangannya ini tidak didasari atas kekhawatirannya, bahwa jika RUU BPJS diundangkan, Jamsostek akan dilebur, seperti yang menjadi polemik belakangan ini.

"Setiap kelompok harus mempunyai rancangan jaminan sosial, tapi bukan berarti semuanya harus sama. Semuanya harus disesuaikan dengan karakteristik tiap kelompok penduduk yang ada. Ini karena desain manfaat perlindungan jaminas sosial tidak bisa setara," lanjut dia.

Dia juga melanjutkan, Jamsostek yang berhubungan dengan pemberi kerja yang jumlahnya banyak, berbeda dengan PT Askes yang hanya menerima anggaran dari APBN. Oleh karenanya, penggabungan RUU BPJS hanya akan memusingkan Jamsostek.

"Kita berhubungan dengan banyak pemberi kerja yang jumlahnya ribuan, ada yang nakal juga. Kalau digabung, kita pusing terutama direkturnya. Kalau direktur pusing, jangankan mikir pelayanan, pasti banyak dari mereka yang hanya mikirin dirinya sendiri," lanjut Masud.

Oleh karenanya, jika boleh mengusulkan dia meminta tidak ada penggabungan empat lembaga jaminan sosial yang ada. "Tidak usah dilebur, bentuk ada BPJS baru biar semua masyarakat ter-cover, tetapi yang empat yang sudah ada ini harus diperbaiki lagi kualitasnya," tandasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, pembahasan RUU BPJS di Senayan hanya menunggu ketuk palu di DPR pada 23 Juli nanti. Pro kontra masih terjadi antara pemerintah dan lembaga jaminan sosial yang ada karena disinyalir akan terjadi penggabungan empat lembaga, yaitu PT Jamsostek, Asabri, Askes dan Taspen menjadi BPJS.
(wdi)

Senin, Juli 11, 2011

AntaraNews.Com: Panja BPJS, Dengarlah Suara Pakar

Diambil dari sini: http://www.antaranews.com/berita/266774/panja-bpjs-dengarlah-suara-pakar

Jakarta (ANTARA News) - Kontroversi peleburan empat badan penyelenggara jaminan sosial, yakni PT Taspen, PT Askes, PT Asabri, dan PT Jamsostek memasuki tahap akademis. Sejumlah akademisi menyumbang saran atas kebijakan yang sedang dibahas di Panja DPR itu.

Kontroversi itu muncul ketika timbul wacana peleburan empat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kedalam satu wadah baru yang belum jelas wujudnya. Meskipun masih dalam tahap wacana, tetapi menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, terutama dari kalangan pekerja, pengusaha (Apindo), bahkan pemerintah sendiri (Menneg BUMN).

Mereka menginginkan agar pemerintah fokus pada tujuan utama, yakni melayani jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin dan tak mampu.

Hal itu merupakan prioritas dan amanat dari UU SJSN yang merupakan pengejawantahan dari amanat UUD 45 tentang tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara, khususnya masyarakat miskin dan tak mampu.

Namun, pada perkembangannya, pemerintah dan DPR tidak fokus. Entah dari mana datangnya, muncul kesepakatan pembentukan dua BPJS baru, meskipun empat BPJS yang eksis tetap dipertahankan.

Namun, seperti membuka kotak pandora, ide liar muncul begitu saja, yakni mengutak-atik empat BPJS yang ada dan meleburnya dalam dua BPJS baru. Belum cukup, secara bertahap, kata ide liar itu, dua BPJS hasil peleburan (istilah Panja, transformasi) dalam satu BPJS tunggal.

Lalu semua pihak tersengat. Mereka yang bersidan di DPR seperti lupa dengan progam dan BPJS utama, yakni layanan jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin dan tak mampu. Semua energi lalu tersita pada peleburan tersebut, rapat-rapat dilakukan di sejumlah hotel bukan membahas prioritas utama.

Kalangan pengurusan serikat pekerja dan Apindo melontarkan penolakan peleburan BPJS. Tapi seperti, bersuara di padang pasir, DPR seakan tetap pada pendiriannya dan alpa mendengar konstituen dan "stake holder" BPJS, pekerja dan pengusaha.

Kini kalangan peneliti juga bersuara. Adalah peneliti senior LIPI Dr R Siti Zuhro yang angkat bicara dan mengingatkan pemerintah dan DPR untuk melakukan kajian akademis sebelum melebur empat badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) agar setiap kebijakan dan produk hukum yang dilahirkan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dia mengingatkan bahwa sebelumnya terdapat sejumlah kebijakan dan produk peraturan perundangan yang tidak efektif.

Misalnya, pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan yang akhirnya dihidupkan kembali. Produk UU yang dinilainya kurang efektif dalam pelaksanaan adalah UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.

Karena itu Panja RUU BPJS hendaknya mengkaji lebih matang semua peraturan perundangan yang akan dihasilkan. Jangan menambah kebingungan dan kontroversi di kalangan masyarakat.

Dia mengingatkan terdapat sejumlah peraturan perundangan yang harus direvisi terlebih dahulu karena UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menjadi acuan RUU BPJS tidak mengamanatkan revisi atas peraturan perundangan yang ada.

Informasi yang diperolehnya terdapat 16 peraturan perundangan yang harus direvisi jika ingin melebur empat BPJS yang ada.

Untuk itu, diperlukan kajian akademis sebelum menentukan arah kebijakan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional. Harmonisasi peraturan perundangan tersebut diperlukan agar tidak memunculkan kontroversi di belakang hari.

Sikap kehati-hatian sangat diperlukan karena empat BPJS tersebut beraset Rp190 triliun. Jangan sampai pemerintah dan DPR hanya sibuk dengan kontroversi dan melupakan tujuan utama dari sistem jaminan sosial.

Menurut dia, jika, prioritas utama dari UU SJSN adalah memberi perlindungan pada masyarakat miskin dan tak mampu, khususnya di bidang layanan kesehatan, maka pemerintah hendaknya fokus pada program tersebut.

Mengingat, pembentukan suatu lembaga atau badan sangat dipengaruhi dengan kultur dan sosiologis suatu bangsa. Tidak bisa menjiplak begitu saja program yang sudah dilaksanakan di Singapuran atau Amerika serikat, misalnya.

Jika Indonesia dari awal sudah merancangnya secara parsial, yakni program jaminan sosial untuk PNS, TNI/Polri dan pekerja/buruh swasta sendiri maka untuk selanjutnya tinggal menutupi kelemahan yang ada.

Misalnya, jaminan sosial untuk masyarakat miskin dan tak mampu belum ada maka, maka pemerintah dan DPR tinggal membentuk BPJS baru khusus untuk kalangan tersebut.

Dalam bahasa sederhana, dalam menentukan sesuatu hendaknya dilihat manfaat dan mudharatnya, kata Siti.


Perbedaan Signifikan

Sementara Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila Prof Bambang Purwoko menilai sudah selayaknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Indonesia tidak disatukan karena terdapat sejumlah perbedaan yang sangat signifikan yang harus diluruskan terlebih dahulu.

Pakar jaminan sosial itu mengatakan perbedaan itu antara lain, terdapat jaminan pekerjaan bagi pegawai di sektor pelayanan publik sedangkan di sektor swasta tidak.

Pegawai di sektor pelayanan publik dan swasta juga terdapat perbedaan usia pensiun. Di samping itu program jaminan sosial bagi pegawai di sektor publik bersifat "unfunded" atau program yang tidak dibiayai oleh peserta program tapi berasal dari pajak atau disisihkan dari anggaran belanja belanja negara.

Karena itu tidak bisa ditransformasi (dilebur) ke "funded plan" atau program jaminan sosial yang didanai oleh peserta.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional itu juga mengungkapkan bahwa pada umumnya program jaminan sosial bagi pegawai di sektor layanan publik dan swasta tidak sama.

Pembiayaan program jaminan sosial bagi pegawai sektor publik berasal dari belanja pegawai dengan sendiri menerapkan sistem "pay as you go" (begitu pensiun langsung dibayar).

Menyinggung tentang jumlah BPJS, Purwoko menyebutkan tidak perlu mempermasalahkan jumlah BPJS karena umumnya pembentukan dan penyelenggaraan jaminan sosial sangat tergantung pada kultur dan kronologis keberadaan di suatu negara.

Dia menyatakan di sejumlah negara ada yang memiliki beberapa BPJS, seperti di Malaysia, Thailand, Filipina dan Korea Selatan.

Di Thailand misalnya, terdapat lima jaminan sosial, seperti Social Security Organization (SSO) untuk pekerja sektor swasta yang menyelengarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan pensiun.

Di Indonesia SSO mirip dengan PT Jamsostek, Thailand juga memiliki National institute of social security for civil servants yang mirip dengan PT Taspen, Civil Servant Medical Benefit Scheme yang mirip dengan PT Askes, Military Retiree Activities Office yang mirip dengan PT Asabri.

Sementara National Health Security Office adalah layanan kesehatan bagi pensiunan karyawan swasta, ibu rumah tangga dan penduduk miskin yang Indonesia belum miliki.

Indonesia berpeluang memiliki National Health Security Office seperti Thailand itu jika Pansus DPR RI sepakat membentuk BPJS baru khusus bagi penduduk miskin dan tak mampu.

Lalu, bagaimana dengan Singapura dan Amerika Serikat yang memiliki BPJS tunggal? Mereka memang sejak awal sudah merancang BPJS tunggal untuk program social security (jaminan sosial).

Sementara negara yang membangun jaminan secara parsial, tidak pernah tergoda untuk menyatukannya. Prioritas utama adalah menutupi kekurangan dengan memanfaat BPJS yang ada atau membentuk BPJS baru seperti yang dilakukan Thailand.(*)
(T.E007/Z002)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2011

Kamis, Juli 07, 2011

BPJS Tidak Layak Disatukan


JAKARTA (Pos Kota) – Banyak perbedaan yang signifikan, sudah selayaknya badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) di Indonesia tidak disatukan , kata pakar jaminan sosial, Prof. Bambang Purwoko yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila.

Ia menjelaskan perbedaan itu antara lain, terdapat jaminan pekerjaan bagi pegawai sektor pelayanan publik (PNS,TNI/Polri) sedangkan di sektor swasta tidak, dan terdapat perbedaan usia pensiun.

Program jaminan sosial bagi pegawai di sektor publik , lanjutnya, bersifat unfunded atau program yang tidak dibiayai oleh peserta program tapi dari pajak atau disisihkan dari anggaran belanja belanja negara.

Sedangkan pekerja swasta iuran dibayar oleh pekerja dan pengusaha. “Karena itu tidak bisa ditransformasi (dilebur) ke ‘funded plan’ atau program jaminan sosial yang didanai oleh peserta,” katanya.

Bambang juga mengungkapkan bahwa pada umumnya program jaminan sosial bagi pegawai di sektor layanan publik dan swasta tidak sama. Pembiayaan program jaminan sosial bagi pegawai sektor publik berasal dari belanja pegawai yang dengan sendirinya menerapkan sistem “pay as you go” (begitu pensiun langsung dibayar).

Ditanya tentang jumlah BPJS, Bambang menyebutkan tidak perlu mempermasalahkan jumlah BPJS karena umumnya pembentukan dan penyelenggaraan jaminan sossial sangat tergantung pada kultur dan kronologis keberadaan di suatu negara.(tri/B)